Langsung ke konten utama

Sejarah Letusan Gunung Tangkuban Perahu di Tanah Sunda


Gunung Tangkuban Perahu bergejolak mengeluarkan erupsi berupa semburan debu dan cipratan air panas, pada Jumat (26/7/2019) lalu. Gunung yang terkenal sebagai objek wisata karena keindahan alamnya tersebut sempat menjadi trending topic di google pada Sabtu (27/7/2019) pekan lalu. 

Berdasarkan keterangan BPBD, erupsi tersebut terekam di seismogram dengan amplitudo maksimum 38 mm dan durasinya kurang lebih 5 menit 30 detik. Ketika itu Gunung Tangkuban Perahu berada pada status level 1 (normal).  Meski begitu masyarakat diminta tetap waspada. Taman wisata Alam (TWA) Gunung Tangkuban Perahu pun sempat ditutup selama tiga hari.

Meski sempat membuat panik pengunjung dan warga setempat saat terjadi erupsi, namun gejolak Gunung yang kental dengan legenda Sangkuriang ini kembali mereda sejak Senin (29/7/2019) kemarin. Sejarah mencatat gunung Tangkuban Perahu pernah beberapa kali mengalami letusan. Yakni di tahun 1829, 2013, hingga yang terbaru di tahun 2019. 

Secara administratif, Gunung Tangkuban Perahu terletak di wilayah kabupaten Subang dan Kabupaten Bandung Provinsi Jawa Barat. Dekat dengan kota Parongpong dan Lembang. Sementara secara geografis, Gunung kebanggaan masyarakat Sunda ini terletak di 6 46' LS dan 107 36'BT.

Tidak banyak yang tahu, bahwa Gunung Tangkuban Perahu merupakan salah satu gunung berapi di Indonesia yang masih aktif. Dahulu kala, Gunung Tangkuban Perahu pernah mengalami erupsi besar sehingga menghasilkan 9 kawah.   Yakni Kawah Ratu, Kawah Upas, Kawah Baru, Kawah Lanang, Kawah Ecoma, Kawah Jurig, Kawah Siluman, Kawah Domas, Kawah Jarian dan Pangguyangan Badak. 


Sejarah Letusan gunung Tangkuban Perahu





Erupsi tertua Gunung tangkuban Perahu yang tercatat dalam PVMBG terjadi di tahun 1829. Letusan tersebut bukanlah erupsi pertama Gunung Tangkuban Perahu, namun belum ditemukan catatan secara pasti kapan pertama kali gunung tersebut mengeluarkan erupsi. 

Erupsi yang terjadi pada 1829 itu mengakibatkan hujan abu dan batu yang berasal dari kawah Ratu dan Kawah Domas. Di tahun 1935 fumarol baru yang cukup besar terbentuk sehingga menjadi kawah yang kini disebut dengan kawah Badak. Setelah itu berjarak 17 tahun kemudian terjadi erupsi abu yang didahului dengan erupsi freatik. 

Erupsi freatik merupakan proses keluarnya magma ke permukaan bumi karena pengaruh uap yang disebabkan oleh sentuhan air (air tanah, laut, danau kawah, atau air hujan). 

Erupsi freatik gunung yang mirip perahu terbalik ini terjadi lagi selama beberapa tahun yakni, 1957, 1961, 1965, 1971, 1992 dan 1994. Di masa-masa erupsi freatik tersebut, tepatnya pada 1983 terlihat awan abu panas setinggi 159 meter di atas Kawah Ratu. Sementara di tahun 1992 erupsi freatik disertai gempa seismik dangkal terjadi akibat dampak peningkatan aktivitas gunung berapi.

Setelah itu PVMBG mencatat terjadi peningkatan aktivitas gunung api (erupsi) di tahun 1846. Kemudian di tahun 1896 terbentuk fumarol baru di sebelah utara kawah Badak dari Gunung setinggi 2.084 meter di atas permukaan laut  atau 1300 meter di atas dataran tinggi bandung tersebut.

Setelah itu selama 12 tahun Gunung Tangkuban Perahu cukup tenang. Kemudian di tahun 2004 sampai 2006 gunung ini kembali beraktivitas berupa gempa. Lalu pada 2013 terjadi peningkatan aktivitas yang menghasilkan 11 kali letusan freatik selama 4 hari sejak 5 sampai 10 Oktober 201. 

Selama 6 tahun setelah itu, Gunung Tangkuban Perahu kembali berada dalam ketenangan. Hingga kemudian pekan lalu tepatnya 26 - 28 Juli 2019 gunung yang berada di antara Bandung Barat dan Subang ini kemudian mengalami erupsi dengan semburan abu setinggi 200 meter dari atas puncak disertai material dingin yang berasal dari kawah. 

Menurut PVMBG letusan tersebut memang sudah terdeteksi sebelumnya. Penyebanya adalah akibat berkurangnya air tanah yang disebabkan oleh perubahan musim sejak bulan Juni 2019. Sehingga air tanah yang berada di gunung tersebut menjadi panas lalu menimbulkan erupsi. 

Namun kini objek wisata Gunung Tangkuban perahu sudah dinyatakan aman sehingga mulai dibuka untuk pengunjung mulai kamis 1 Agustus 2019. Meski sudah boleh dikunjungi, pengunjung harus tetap waspada dan berhati-hati saat berwisata, dengan cara mematuhi seluruh peraturan dan memperhatikan papan petunjuk dan arahan dari pengelola Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Tangkuban Perahu. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Petanda & Penanda dalam Kehidupan Sehari-hari

Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu berteman dengan tanda. Tanda merupakan salah satu bagian dari semiotika. Sebuah tanda tidak selamanya bermakna sama. Bisa jadi berbeda ketika berada di tempat yang beda dengan kondisi budaya yang berbeda.  Hal ini sejalan dengan pemikiran semiotik yang dipopulerkan oleh Ferdinand de Saussure, yakni signified dan signifier atau signifie dan significant yang bersifat atomistis. Dimana pemikiran ini memandang bahwa ruang lingkup muncul ketika hadir hubungan yang bersifat asosiasi atau in absentia selang 'yang ditandai' (signified) dan 'yang menandai' (signifier). Tanda adalah kesatuan dari suatu wujud penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah "bunyi yang bermakna" atau "coretan yang bermakna". Jadi, penanda adalah bidang material dari bahasa yaitu apa yang dituturkan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah cerminan mental, cara melakuk

Analisis Kajian Semiotika Film Penyalin Cahaya

  Objek Kajian : Film Penyalin Cahaya Pendahuluan  Sebuah film merupakan karya seni yang punya banyak sisi semiotika yang bisa dikaji. Salah satu film yang menarik untuk dikaji adalah film berjudul penyalin cahaya. Film yang disutradarai oleh Wregas Bhanuteja ini berhasil masuk dalam 17 nominasi dan memborong sebanyak 12 Piala Citra FFI. Film yang ditayangkan pada Oktober 2021 di Busan International Film Festival (BIFF) ini juga berada di sepuluh besar film populer yang tayang di netflix sejak Januari 2022. Film ini mengisahkan tentang perjuangan seorang mahasiswa bernama Suryani (selanjutnya disebut dengan Sur) yang berusaha mencari kebenaran dari sebuah kejanggalan yang terjadi di lingkungan teater kampusnya. Sur merasa telah jadi korban perpeloncoan teman-temannya di kelompok teater yang bernama mata hari pada kegiatan pesta perayaan kemenangan teater. Hingga akhirnya Sur harus kehilangan beasiswa yang telah diperjuangkan selama ini. Sur adalah anak yang pintar dalam teknologi sert

Review Jurnal, Kajian Seni Rupa dan Desain

1. Review Jurnal Refrensi Garuda Judul :  Redesain Logo dan Media Promosi sebagai Citra Produk Kerajinan Ketanen Industri Kreatif (KIK) Kabupaten Gresik (11 September 2019). Oleh Faza Wahmuda dan Moch Junaidi Hidayat, dalam Jurnal Pantun Vol 3, No 2 (2018) : Kreatif, Inovatif dan Industri Kreatif , garuda.kemdikbud.go.id. Objek Kajian Seni Rupa dan Desain : Objek yang diteliti dalam jurnal tersebut adalah logo dari KIK. Selain itu penulis juga meneliti berbagai media publikasi dan promosi seperti kartu nama, brosur dan website , untuk memastikan bahwa logo yang didesain ulang itu terlihat cocok ketika diterapkan pada media yang baru dan lebih populer digunakan saat ini. Pendekatan :  Pendekatan yang digunakan yakni Semiotika. Peneliti melakukan observasi studi pustaka dan wawancara secara langsung. Metode dan Analisis :  Dalam jurnal ini peneliti  menggunakan metode kualitatif melalui pendekatan teori Semiotika dari Peirce.  Analisis yang digunakan diantaranya analisis visual pada logo